Ternyata melihat kejadian di Tunisia dan Mesir, yang bergolak baru terasa hal itu penting.
Terutama Mesir, mirip sekali dengan Indonesia saat demonstrasi reformasi. Kita pernah mengalami rejim orde baru yang berkuasa 30 tahunan, dan rejim itu otoriter, hampir menguasai semua sendi-sendi pembangunan, oposisi dikebiri, kekuasaan waktunya tidak dibatasi dan akhir dari semua itu adalah sama, krisis pangan dan moneter yang memicu’ chaos’.
Kalau saja Mubarak mau belajar dari Indonesia di Mei 1998, mungkin dia mau berhenti berkuasa beberapa tahun lalu saat di puncak-puncak kejayaannya, supaya menjadi kenangan yang manis bagi rakyatnya.
Tetapi kalau ternyata dia jatuh dengan menyedihkan saat ini juga, maka kata-kata bijak ‘jasmerah’ dari sang proklamator mengenai sasarannya.
Dan sekarang, sudah ada Mei 1998 yang maksud awalnya menjatuhkan sebuah rejim, tetapi kita tidak pernah tuntas melakukan perbaikan. Sisa rejim lama masih ada, hanya bak kutu loncat pindah partai, ganti nama partai, ganti visi-misi supaya enak di telinga, tetapi pola pikir dan filosofinya tetap cara-gaya yang aromanya sama saja. Seperti makanan, semua masih pengandalkan pewarna buatan, pengawet dan penyedap rasa instant, bukan racikan bumbu baru dari rempah-rempah alami. Bagaimana kita mau belajar dari sejarah 13 tahun yang lalu di Indonesia? Dan menghubungkannya juga dengan fakta saat ini di Mesir yang mirip sekali kondisi kita Mei 1998.
Belajarlah dari Mesir hari ini. Sepuluh tahun batas sebuah rejim, ya 10 tahunlah. Mau mempertahankannya mati-matian dengan ditukang-tukangi, pasti bisa. Tetapi kalau pada akhirnya hanya hujatan dan caci maki didapat di akhir kekuasaan, alangkah sakitnya.
Berhentilah makan sebelum kenyang. Mungkin itu di kekuasaan juga sama, berhentilah berkuasa sebelum ‘kenyang’.Entah kenyang dari apa. Kami-kami yang tidak punya bakat berkuasa ini masih bingung memikirkan apa sih arti lapar bagi semua yang ingin berkuasa. Yang pasti bukan cuma gaji yang 19, 40 dan 63 juta.